Ibnu Khaldun, Konsep Ashabiyah Dan Teori Siklus Pemerintahan

Ibnu Khaldun, Konsep Ashabiyah Dan Teori Siklus Pemerintahan[1]

Oleh: Taufiq Hidayatillah[2]

 

            Sejarah mengenai perkembangan konsep maupun teori yang berkembang tidak akan terlepas dari kondisi sosial maupun politik yang mengharuskan seorang intelektual  menganalisis dan menghasilkan solusi terhadap persoalan yang dihadapi. Dengan demikian, solusi yang ditawarkan akan memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat. Dengan menggunakan metode yang aktual dan relevan atas permasalahan yang terjadi, solusi  semacam ini dapat membantu dalam mengukir sejarah lahirnya teori baru.

           Saya kira Ibn Khaldun telah memberikan sumbangsih yang besar kepada dunia Islam atas karyanya yang berjudul Muqaddimah. Mungkin hal tersebut  berangkat dari hubungan secara langsung terhadap berbagai kondisi dan perkembangan politik yang beliau temui di berbagai tempat,[3] serta analisisnya terhadap sejarah sebelumnya, ditambah lagi dalam pengamatanya menggunakan pendekatan sosiologis,[4] dan memberikan kontribusi baru bagi pengembangan keilmuan saat itu dan sesudahnya. Oleh karena itu, tidak bisa dipungkiri apabila banyak dari kalangan intelektual maupun akademisi menempatkannya sebagai ilmuan modern.

           Dalam tulisan ini, saya ingin memaparkan teori Ibnu Khaldun mengenai teori Negara dan Politik atau juga teori siklus dan merupakan sebuah teori murni yang dikembangkan oleh Ibnu Khaldun yaitu Ashabiyah. Sebelum memasuki pembahasan tersebut akan dijelaskan bagaimana asal suatu negara dapat terbentuk melalui sebuah proses yang begitu panjang dan begitu rumit. Bagaimana suatu negara juga mempunyai elemen-elemen yang sangat penting untuk diwujudkan. Karena sebuah peradaban sangat bergantung pada kekuatan negara dalam mengabadikan sejarahnya. Yang tentunya tidak akan terlepas dari seputar politik, sosial, budaya dan negara.

           A.      Asal-Usul Masyarakat

           Manusia merupakan zoon politicon,[5] oleh karena itu pernyataan tersebut sangatlah mendukung bahwa manusia dalam kenyataannya terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung membentuk sebuah organisasi masyaakat. Adanya suatu organisasi masyarakat merupakan suatu keharusan bagi manusia. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa munusia juga tidak akan bisa bertahan tanpa manusia lainnya. Fisik manusia adalah terbatas meskipun Tuhan telah menberikan kelebihan terhadap manusia, tetapi tetap saja dibalik kelebihan manusia pasti terdapat kekurangan. Kegiatan manusia dalam melakukan aktifitasnya pastilah memerlukan materi lain baik itu tenaga maupun alat pendukung, misalnya makanan.

           Bagi sebagian manusia makanan merupakan hal yang sepele. Tetapi jika kita tinjau lebih jauh bagaimana proses makanan itu dibuat, tentu akan membutuhkan cerita yang panjang baik dari mulai proses pembuatan dari bahan mentah sampai menjadi makaana siap saji. Dari hal tersebut dapat dibuktikan bahwa ada unsur-unsur yang mempengaruhi yakni alat, bahan mentah, tenaga, waktu, tempat dan lain-lain. Itu berarti manusia tidak akan bisa melakukan semuanya dalam satu kegiatan dan pastinya manusia membutuhkan tenaga lain.  Itulah mengapa penjelasan asal-usul masyarakat ini menjadi bahan awal dalam membangun sebuah negara.[6]

            B.     Asal-Usul Negara

           Dalam hal ini akan dijelaskan mengenai asal-usul sebuah negara. Telah dijelaskan dalam pembahasan asal-usul Masyarakat bahwa manusia tidak bisa hidup secara individu dan oleh karena itu dibutuhkanlah sebuah organisasi masyarakat. Setelah Organisasi masyarakat terbentuk barulah manusia menyadari bahwa pentingnya sebuah keamanan (ancaman dari pihak luar) juga sangat perlu. Mungkin serangan dari binatang bukanlah suatu ancaman yang menakutkan bagi manusia, tetapi serangan dari manusia itu sendiri merupakan suatu yang sangat menakutkan bagaikan bermain “topeng”. Bukan karena kekuatan fisiknya tetapi karena kelicikannya yang melebihi dari pada binatang.  Oleh karena itu diperlukanlah manusia yang mempunyai otoritas yang tinggi untuk bertindak sebagai keamanan. Disamping mempunyai kekuasaan yang penuh sebagai penengah, Ia juga harus mempunyai Authoritative Power, karena hal inilah yang menjadi alat penting untuk menekan terjadinya konflik atau serangan dari pihak-pihak luar.[7] Dia adalah orang yang akan melaksanakan kekuasaan dan menjauhkan manusia dari sifat agresifitas, arogansi, kedhaliman dan kebinatangan, masing-masing saling membunuh untuk memenuhi kepentingannya. Maka diperlukanlah sebuah lembaga untuk mengatur dan menertibkannya.[8]

           C.      Antara Masyarakat Dan Negara

            Terjadinya sebuah negara tentulah tidak akan terlepas dari adanya masyarakat. Masyarakat tanpa negara juga pasti akan mengalami kehancuran karena tidak adanya pelindung. Keadaan tersebut bukanlah suatu proses yang sangat singkat, tetapi proses kejadian tersebut memiliki rentetan sejarah yang panjang. Masyarakat menyadari bahwa dirinya hanyalah kumpulan dari sifat lemah dan tidak berdaya. Oleh karena itu masyarakat membutuhkan keamanan (naungan hukum) dari segala bahaya yang akan mereka dihadapi dengan menunjuk seseorang sebagai pemimpin yang akan memihaknya. Kebutuhan dasar inilah yang membentuk sebuah negara. Negara tanpa masyarakat belumlah cukup untuk dikatakan sebuah negara, karena masyarakatlah yang mempunyai otoritas untuk mengakui adanya sebuah negara. Oleh karena itu relevansi masyarakat dan negara menjadi satu-kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan.

            D.     Bentuk Pemerintahan

           Ibn Khaldun memberikan tipologi bentuk pemerintahan yakni: Pertama, Al-Mulk  natural  Artinya, seorang raja dalam memerintah  lebih mengikuti keegoisan dan hawa nafsunya sendiri dan tidak memperhatikan kepentingan rakyat. Pemerintahan jenis ini menyerupai pemerintahan otoriter, individualis, otokrasi, atau inkonstitusional. Kedua, Al-Mulk Politik  yaitu pemerintahan yang membawa rakyatnya sesuai dengan rasio dalam mencapai kemaslahatan duniawi dan mencegah kemudharatan. Pemerintahan jenis ini serupa dengan pemerintahan Republik, atau kerajaan insitusional yang dapat mewujudkan keadilan hanya pada  batas-batas tertentu. Ketiga, Al-Imamah  yaitu pemerintahan yang membawa kemaslahatan bagi semua rakyat  baik yang bersifat keduniawian maupun keukhrawian. Menurut Ibn Khaldun model ketiga inilah yang terbaik, karena dengan hukum yang bersumber dari ajaran Agama akan terjamin tidak saja keamanan dan kesejahteraan di dunia tetapi juga di akhirat. Dan karena yang dipakai sebagai asas kebijaksanaan pemerintahan itu adalah ajaran Agama, khususnya Islam, maka kepala Negara disebut Khalifah dan Imam.[9]

            E.      Imamah dan  Sulthanah

           Ibnu Khaldun dalam bukunya Osman Raliby (1965) menyebut adanya empat syarat yang harus dimiliki seorang pemimpin, yaitu: ilmu pengetahuan yang luas, keadilan, kesanggupan, dan tidak mempunyai kecacatan atau keselamatan indera dan anggota tubuh dari hal-hal yang bisa mempengaruhi cara berpendapat dan bertindak.[10] Adapun syarat kelima, yakni keturunan Quraisy masih diperselisihkan.[11] Syarat berilmu pengetahuan juga jelas. Karena dia akan bisa menjalankan hukum-hukum Allah apabila dia mengetahuinya. Berilmu pengetahuan yang dimaksudkan tidak akan memadai kecuali jika ia seorang mujtahid, mengingat taqlid adalah suatu kekurangan; sementara kepemimpinan menuntut kesempurnaan dalam karakteristik dan watak. [12]

            F.        Ashabiyah dan Teori Siklus

           Secara etimologis ashabiyah berasal dari kata ashaba yang berarti mengikat. Secara fungsional ashabiyah menunjuk pada ikatan sosial budaya yang dapat digunakan untuk mengukur kekuatan kelompok sosial. Selain itu, ashabiyah juga dapat dipahami sebagai solidaritas sosial, dengan menekankan pada kesadaran, kepaduan dan persatuan kelompok.[13] Dapat dikatakan bahwa ashabiyah sangat menentukan kemenangan dan keberlangsungan hidup suatu negara, dinasti, ataupun kerajaan. Tanpa dibarengi ashabiyah, maka keberlangsungan dan eksistensi suatu negara tersebut akan sulit terwujud, serta sebaliknya, negara tersebut berada dalam ancaman disintegrasi dan menuju pada  kehancuran.[14]

           Konsep ashabiyah merupakan bukti ketelitian Ibn Khaldun dalam menganalisis persoalan politik dan negara. Ashabiyah merupakan kunci awal lahir dan terbentuknya sebuah negara. Jika unsur ashabiyah suatu negara sudah melemah, maka negara itu berada dalam ancaman keruntuhan. Oleh karena itu teori ashabiyah ini tidak bisa disangkal keadaannya, dan bahkan teori ashabiyah ini menjadi inspirasi bagi pergerakan politik kontemporer.

           Ibnu Khaldun membagi  istilah ashabiyah menjadi dua macam pengertian. Pertama, Pengertian ashabiyah bermakna positif dengan menunjuk pada konsep persaudaraan (brotherhood). Dalam sejarah peradaban Islam konsep ini membentuk solidaritas sosial masyarakat Islam untuk saling bekerjasama, mengesampingkan kepentingan pribadi (self-interest), dan memenuhi kewajiban kepada sesama. Semangat ini kemudian mendorong terciptanya keselarasan sosial dan menjadi kekuatan yang sangat dahsyat dalam menopang kebangkitan dan kemajuan peradaban. Kedua, Pengertian ashabiyah bermakna negatif, yaitu menimbulkan kesetiaan dan fanatisme membuta yang tidak didasarkan pada aspek kebenaran. Konteks pengertian yang kedua inilah yang tidak dikehendaki dalam sistem pemerintahan Islam. Karena akan mengaburkan nilai-nilai kebenaran yang diusung dalam prinsip-prinsip agama.

           Gagasan Ibn Khaldun tentang negara yang dikaji melalui pendekatan sosiologis diilustrasikan dengan sifat alamiah manusia yang senantiasa hidup berkelompok, saling menggantungkan diri, dan tidak mampu hidup sendiri tanpa membutuhkan bantuan orang lain (zoon politicon). Sehingga dari sifat alamiah tersebut serta dibarengi adanya tujuan yang sama dari masing-masing manusia, kemudian terbentuklah ashabiyah di antara mereka. Kesatuan sosial ini terbentuk sejak mulai dari kelompok terkecil sampai kepada kesatuan kelompok manusia yang paling besar.

           Alasan diperlukannya ashabiyah tersebut, karena; Pertama, teori tentang berdirinya negara berkenaan dengan realitas kesukuan. Keadaan sebuah suku dilihat dari faktor psikologis bahwa masyarakat tidak mungkin mendirikan negara tanpa didukung perasaan persatuan dan solidaritas yang kuat.[15] Kedua, bahwa proses pembentukan negara itu harus melalui perjuangan yang keras dan berat. Apabila imamah tidak mampu menundukkan lawan maka dirinya sendiri yang akan kalah dan negara tersebut akan hancur. Oleh sebab itu, dibutuhkan kekuatan yang besar untuk mewujudkannya.

           Dengan demikian, solidaritas yang kuat ini memberikan efek yang dapat mempengaruhi keeksistensian negara. Kemudian dalam pembentukan ashabiyah tersebut, Ibn Khaldun berpendapat bahwa agama mempunyai peran penting dalam membentuk persatuan tersebut. Menurutnya, semangat persatuan rakyat yang dibentuk melalui peran agama itu tidak bisa ditandingi oleh semangat persatuan yang dibentuk oleh faktor lainnya. Hal tersebut didukung oleh visi agama dalam meredakan pertentangan dan perbedaan visi rakyat, sehingga mereka mempunyai tujuan sama, untuk berjuang bersama menegakkan agamanya. Hal ini bisa dibuktikan ketika dalam perang Yarmuk dan Qadisiyah, di mana pasukan umat Islam hanya berjumlah 30.000 orang, dan tentara Persia di Qadisiyah berjumlah 120.000 orang, sedangkan tentara Heraklitus, berjumlah 400.000 orang. Meskipun jumlahn pasukan umat Islam sangat kecil, tetapi karena didasari semangat persatuan yang tinggi dan dibentuk oleh peran agama hasilnya umat Islam mampu memenangkan peperangan tersebut.[16]

           Ibn Khaldun membuat teori tentang tahapan timbul tenggelamnya suatu Negara atau sebuah peradaban menjadi lima tahap, yaitu:

  1. Tahap sukses, dimana otoritas negara didukung oleh masyarakat (ashabiyyah) yang berhasil menggulingkan kedaulatan dari dinasti sebelumnya.
  2. Tahap tirani,  dimana penguasa berbuat sekehendaknya pada rakyatnya. Nafsu untuk menguasai menjadi tidak terkendali.
  3. Tahap sejahtera, ketika kedaulatan telah dinikmati. Segala perhatian penguasa tercurah pada usaha membangun negara.
  4. Tahap tentram dan damai, dimana penguasa merasa puas dengan segala sesuatu yang telah dibangun para pendahulunya.
  5. Tahap kemewahan, dimana penguasa menjadi perusak warisan pendahulunya, pemuas hawa nafsu dan kesenangan. Pada tahap ini, negara tinggal menunggu kehancurannya.[17]

           Dari tahapan-tahapan tersebut akhirnya memunculkan tiga generasi, yaitu: Generasi petama; generasi pembangun, generasi yang masih memegang sifat-sifat kenegaraan. Generasi kedua; generasi penikmat, yakni mereka yang karena diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam sistem kekuasaan, menjadi tidak peka lagi terhadap kepentingan bangsa dan negara. Generasi ketiga; ganeresi ketidakpedulian. Mereka  tidak lagi memiliki hubungan emosional dengan negara dan mereka tidak pernah memedulikan nasib negara.[18]

           Jika suatu bangsa sudah mencapai pada generasi ketiga ini, maka keruntuhan negara sudah di ambang pintu. Dari tehapan diatas dapat disederhanakan ketika sebuah Peradaban besar dimulai dari masyarakat yang hidup dengan kesusahan dan penuh perjuangan. Keinginan untuk hidup makmur dan terbebas dari kesusahan hidup ditambah dengan ashabiyyah, membuat mereka berusaha keras untuk mewujudkan cita-cita mereka dengan perjuangan yang keras pula. Ketika Impian tersebut telah tercapai maka akan memunculkan sebuah peradaban baru. Adanya kemunculan peradaban baru tersebut memberikan dampak atas mundurnya peradaban tersebut dari peradaban lain. Tahapan-tahapan tersebut berputar seperti roda yang tidak pernah berhenti. Lebih sederhana lagi teori siklus ialah; lahir, tumbuh, berkembang dan mati.

           DAFTAR PUSTAKA

Esposito, Jhon L.  (ed). 2001. Ensiklopedi Dunia Islam Modern, Jilid I, Bandung: Penerbit Mizan.

Khaldun, Ibn. 1989. The Muqaddimah: An Introduction to History, (trans. Franz Rosenthal), Bollingen Series Princeton University Press,.

Muhammad, Rusjdi Ali. 2000. Politik Islam: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rais, M. Djiauddin. 2001. Teori Politik Islam. Jakarta: Gema Insani

Raliby, Osman. 1965. Ibnu Chaldun Tentang Masjarakat dan Negara. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang.

Shofiyullah M.Z. 1998. “Kekuasaan Menurut Ibnu Khaldun” Tesis, Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Sjadzali, H. Munawir. 1990. Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI Press.

Zainuddin, A. Rahman. 1992. Kekuasaan Dan Negara: Pemikiran Politik Ibnu Khaldun, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.


[1] Tulisan ini disampaikan dalam diskusi tunas hijau  mahasiswa sosiologi agama tanggal  07 April  2011 di Lt.I sebelah Barat Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam.

[2] Mahasiswa Sosiologi Agama semester VI Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

[3] Eksistensi Islam di Barat yang berpusat di Spanyol (Andalusia) dan Afrika Utara juga sedang dilanda krisis politik. Kekhalifahan Abdurrahan al-Dakhil berakhir dengan dihapusnya gelar khalifah pada tahun 1013 oleh Dewan menteri yang memerintah Cordova. Krisis ini terus-menerus hingga datangnya masa yang lebih dikenal dengan sebutan Mulk At-Thawaif, yaitu munculnya kerajaan-kerajaan kecil di Kerajaan Islam. Puncak krisis di Spanyol adalah ketika Granada sebagai pertahanan terakhir ditakhlukkan oleh pasukan Kristen pada tahun 1492. peristiwa ini membumi hanguskan kekuasaan Islam di Spanyol. Umat Islam dihadapkan pada situasi yang sangat menyedihkan, mereka dipaksa masuk Kristen ataukah pergi sejauh – jauhnya dari Spanyol. Akhirnya pada tahun 1609 tidak ada seorangpun orang Islam yang masih bernafas di Spanyol.

[4]  Tulisan Maryono yang disampaikan dalam diskusi tunas hijau mahasiswa sosiologi agama tanggal 24 Maret 2011 di Selatan climbing.

[5] H. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. (Jakarta UI Press, 1990),  hlm. 99.

[6] Osman Raliby, Ibnu Chaldun; Tentang Masjarakat dan Negara. (Jakarta:Bulan Bintang, 1965), hlm. 153.

[7]  Osman Raliby, Ibnu Khaldun; Tentang Masyarakat dan Negara, hlm. 158.

[8]  Rusjdi Ali Muhammad.  Politik Islam: Sebuah Pengantar,  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000),  hlm. 8

[9]  M. Djiauddin Rais. Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hlm. 86-89.

[10]  Osman Raliby, Ibnu Chaldun; Tentang Masjarakat dan Negara, hlm. 168.

[11]  Diantara yang menolak syarat ini adalah Abu Bakar Al-Baqillani

[12]  Osman Raliby, Ibnu Chaldun; Tentang Masjarakat dan Negara, hlm. 168.

[13] Jhon L. Esposito (ed). Ensiklopedi Dunia Islam Modern, Jilid I, (Bandung: Penerbit Mizan, 2001), hlm. 198

[14] Ibn Khaldun mengatakan bahwa solidaritas sosial ini terbentuk atau terdapat pada kelompok masyarakat generasi pertama, yang ikut berjuang mendirikan sebuah negara, dinasti, maupun kerajaan. Namun ketika memasuki kelompok generasi berikutnya semangat solidaritas itu berangsur hilang dan tidak diketahui kelompok masyarakat yang terakhir ini. Hal inilah yang kemudian menyebabkan terkikisnya semangat solidaritas, serta semakin menurunnya loyalitas masyarakat kepada pemimpinnya. Sebagai contoh Ibn Khaldun menunjukkan dinasti Abbasiyah di zaman khalifah al-Mu’tasim dan anaknya al-Watsiq, di mana kekuatan bangsa Arab menjadi lemah, sehingga raja bergantung sebagian besar kepada orang-orang dari bangsa Persia, Turki, Dailami, Saljuk dll. Karena mendapatkan kesempatan dan kepercayaan sangat besar yang diberikan oleh raja, maka bangsa asing tersebut memanfaatkannya dengan menguasai daerah-daerah kekuasaan dinasti Abbasiyah. Lihat Ibn Khaldun. 1989. The Muqaddimah: An Introduction to History, (trans. Franz Rosenthal), Bollingen Series Princeton University Press, hlm, 123-124.

[15] A. Rahman Zainuddin. Kekuasaan Dan Negara: Pemikiran Politik Ibnu Khaldun, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 160

[16] Shofiyullah M.Z. 1998. “Kekuasaan Menurut Ibnu Khaldun” Tesis, Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, hlm. 51.

[17]  Osman Raliby, Ibnu Chaldun; Tentang Masjarakat dan Negara, hlm. 242.

[18]  Ibid, hlm. 234-238

One thought on “Ibnu Khaldun, Konsep Ashabiyah Dan Teori Siklus Pemerintahan

Leave a comment